Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung (AGB FP Unila) melaksanakan program Faperta Berkarya dengan topik Menuju Kelembagaan Agribisnis Berkelanjutan dan Berdaya Saing, dilaksanakan oleh Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., Dr. Maya Rianti, S.P., M.Si., dan Amanda Putra Seta, S.P., M.P., melalui siaran langsung di Radar Lampung Televisi, Kamis, 11 Mei 2023.

Sektor pertanian di Indonesia masih menjadi andalan bagi tumbuhnya perekonomian nasional.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan I 2023 mencatat sektor pertanian mengalami pertumbuhan positif, baik secara lapangan usaha maupun distribusinya terhadap perekonomian Indonesia.

Pertanian bahkan disebut sebagai sektor yang paling dominan dengan angka pertumbuhanya sebesar 0,34 persen serta kontribusi yang mencapai 11,77 persen. 

Disamping itu, mayoritas masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian (Fahri, 2016).  Terkhusus di Provinsi Lampung, rumah tangga petani berdasarkan sensus pertanian tahun 2013 yakni sebanyak 1.668.368 RT atau sekitar 48% dari penduduk usia produktif/bekerja.

Pembangunan pertanian saat ini diarahkan pada paradigma pembangunan yang lebih menyeluruh dan sistematis yang dikenal dengan agribisnis.

Pembangunan agribisnis tidak dapat berdiri dengan struktur sistem yang bersifat dispersal atau tersekat-sekat.  Membangun agribisnis adalah proses mengkordinasikan antar subsitem sehingga sistem yang ada menjadi lebih efektif dan efisien.

Agribisnis sendiri merupakan serangkaian kegiatan usaha dari menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen.

Berdasarkan hal tersebut, agribisnis mencakup seluruh kegiatan yang berkaitan mulai dari kegiatan pengadaan sarana produksi, produksi/budidaya, pengolahan, serta pemasaran produk pertanian.

Luas dan kompleksnya sistem agribisnis membuat perlunya peran kelembagaan penunjang untuk menguatkan, mengkoordinasikan, dan menyelaraskan antar subsistem agribisnis yang terlibat. Oleh karena itu, aktivitas agribisnis tidak dapat dilepaskan dengan peran kelembagaan penunjang.

Kelembagaan agribisnis di perdesaan dapat meliputi kelembagaan sarana produksi pertanian, kelembagaan buruh tani, kelembagaan peralatan dan mesin pertanian, kelembagaan pemasaran hasil pertanian, kelembagaan permodalan, kelembagaan kelompok tani dan penyuluhan (Irawan dan suhartini, 2012).

Selain itu terdapat pula kelembagaan pada tingkat meso dan makro seperti asosiasi pengusaha, asosiasi gapoktan, maupun asosiasi pelaku agribisnis lainnya pada skala yang lebih luas.

Kelembagaan pada intinya merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. kelembagaan dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama (North,1990).

Menurut Pakpahan (1990) kelembagaan dicirikan oleh batas yurisdiksi, hak kepemilikan, aturan representatif serta kemampuan menjalankan enforcment guna mengatasi permasalahan free rider.  Kelembagaan memiliki hal penting dalam upaya mendukung efisien nya sebuah sistem.

Termasuk dalam agribisnis, belumlah cukup efisien disetiap subsistem dalam agribisnis tanpa didukung dengan upaya meminimalkan biaya transaksi yang merupakan indikator efisiennya kelembagaan yang ada.

Secara umum kelembagaan agribisnis di pedesaan yang sering ditemui dan fundamental yakni kelembagaan pengadaan sarana produksi, kelembagaan petani baik poktan maupun gapoktan, kelembagaan permodalan, dan kelembagaan pemasaran/pasca panen.

Kelembagaan pengadaan sarana produksi meliputi para pedagang benih/bibit, pedagang pupuk, pedagang pestisida/herbisida, dan pedagang input usaha tani lainnya.

Kelembagaan permodalan meliputi bank, koperasi, BMT, Bumdes serta lembaga keuangan lain yang terdapat di desa.  Kelembagaan pemasaran/pasca panen meliputi pasar, toko output, asosiasi pengusaha agroindustri, serta kelembagaan pemasaran lainnya di desa.

Khusus untuk kelembagaan petani, perhatian stakeholder sangat tinggi pada kelembagaan ini.  Hal tersebut dikarenakan pada kelembagaan ini pelaku usaha yang terlibat sangat banyak (petani). Selain itu, peran aktif dari kelompok tani memiliki dampak yang signifikan bagi kesejahteraan petani. 

Beberapa manfaat langsung maupun tidak langsung yang bisa didapatkan petani apabila poktan/gapoktan dapat berjalan optimal diantaranya kegiatan pelatihan dan pendampingan yang intensif, fasilitas penyewaan peralatan dan mesin untuk usahatani, pinjaman permodalan, usaha tambahan (ternak), serta tambahan insentif/keuntungan dari bagi hasil usaha poktan/gapoktan.

Namun disisi lain fakta dilapangan menunjukkan mayoritas kelembagaan poktan/gapoktan dalam kondisi yang memprihatinkan.  Permasalahan yang terjadi pada kelembagaan ini cukup banyak, beraneka ragam, dan membutuhkan waktu yang panjang untuk diselesaikan.

Kelembagaan petani baik poktan maupun gapoktan yang lemah baik pada sisi aturan main maupun organisasi, membuat kinerja poktan tidak berjalan dengan optimal. Selain itu, Poktan ataupun Gapoktan saat ini lebih dikenal hanya sebagai “penyalur bantuan pemerintah”.

Sarana dan prasarana yang serta minimnya kemitraan/kerjasama dengan stakeholder lain juga membuat kinerja poktan/gapoktan belum maksimal.

Pendampingan bagi poktan/gapoktan masih belum optimal dalam hal pertukaran pengetahuan maupun peningkatan kreatifitas dan skill petani. Padahal, pendampingan yang intensif merupakan proses utama dalam penguatan kelembagaan petani.

Sumber daya manusia pengelola poktan/gapoktan dinilai kurang profesional, berpendidikan rendah, serta minim inovasi. 

Selain itu, pengambilan keputusan pada poktan/gapoktan mayoritas terpusat kepada ketua bukan musyawarah anggota.  Sehingga keterlibatan anggota dalam kegiatan poktan sangatlah minim. 

Beberapa permasalahan tersebut membuat manfaat langsung maupun tidak langsung dengan adanya poktan/gapoktan sangatlah rendah.

Paradigma poktan/gapoktan sebagai “kelompok sosial” masih sangat melekat dikalangan petani.  Poktan/gapoktan pada paradigma baru seharusnya mampu merevitalisasi dirinya menjadi kelompok bisnis (unit bisnis), sehingga manfaat ekonomi langsung dapat dirasakan para anggotanya.

Poktan/gapoktan yang profesional dan mandiri secara ekonomi, membuat nafas panjang bagi keberlanjutan poktan/gapoktan itu sendiri.

Poktan/gapoktan yang mandiri dapat menghidupi organisasinya sendiri tanpa harus menunggu bantuan pemerintah/swasta maupun iuran anggotanya. 

Selain itu, optimalnya kinerja poktan/gapoktan membuat daya tumbuh/berkembang meningkat serta membantu petani dalam persaingan produk/komoditas di pasar. 

Berkembangnya poktan/gapoktan diharapkan mampu memberikan insentif bagi petani anggota.  Hal tersebut membuat petani akan loyal dan memiliki komitmen untuk bergabung dan aktif di poktan/gapoktan.

Mengingat peran penting dari kelembagaan agribisnis secara khusus kelembagaan petani dengan segala permasalahannya, sudah seharusnya stakeholder terkait (Pemerintah, Lembaga Penyuluhan, Perguruan tinggi, dan Swasta) berkerjasama membantu petani meningkatkan kebermanfaatan kelembagaan petaninya. 

Program pemerintah seperti kostratani dengan 5 gerakan utama (sebagai pusat data dan informasi, pusat gerakan pembangunan pertanian, pusat pembelajaran, dan pusat konsultasi agribisnis, serta pusat pengembangan jejaring dan kemitraan), korporasi petani (kelembagaan ekonomi petani, kerjasama petani, pemerintah, perguruan tinggi, dan swasta), maupun petani berjaya di Lampung tentu sangat diharapkan kontribusinya bagi revitalisasi kelembagaan agribisnis yang berkelanjutan dan berdaya saing. 

Oleh karena itu, revitalisasi kelembagaan agribisnis yang berkelanjutan dan berdaya saing merupakan pekerjaan bersama seluruh pihak mengingat cakupan aspek yang cukup kompleks dan luas. 

Pendampingan yang intensif kepada kelembagaan petani dari pihak pemerintah, perguruan tinggi/lembaga peneliti, dan swasta merupakan salah satu kunci keberhasilan menuju kelembagaan agribisnis yang berkelanjutan dan berdaya saing.

Sumber data Fakultas Pertanian Universitas Lampung, 2023.

Maju Cemerlang Faperta Kita.